Selasa, 05 Mei 2009

Musirawas ---- Ratusan Hektar Sawah Terendam




MUSIRAWAS, MI
PENDERITAAN petani di Kabupaten Musirawas, Sumatera Selatan, seakan tiada akhir. Setiap musim tanam, selain mesti berjibaku dengan hama yang tak pernah bosan datang menyerang, di musim hujan mereka juga mesti menelan pahitnya kenyataan, berupa luapan air sungai yang menggenangi sawah. Sebuah ironi dari daerah lumbung pangan.
Hujan deras yang mengguyur Kabupaten Musirawas, Sumatera Selatan, sepanjang April ini, menyebabkan ratusan hektar sawah terendam. Selain membusukkan akar padi, pascabanjir, petani bakal menghadapi masalah baru, yaitu serangan hama keong emas.
Seperti dialami Darmono, petani di Desa G2 Dwijaya, Tugumulyo. Pada musim tanam kali ini, ia memastikan bakal merugi. Soalnya selain dilanda banjir akibat luapan Sungai Ketupak, tanaman padi seluas satu hektar di lahannya juga mulai digerogoti hama. “Padinya tumbuh kerdil,” keluhnya.
Kejadian serupa juga dialami Juari, warga Dusun I Desa G2 Dwijaya. Akibat banjir dan diserang hama, pada musim panen tahun lalu, dari satu hektar lahannya, hanya menghasilkan tiga karung padi. Sekarang, persoalan ini kembali menimpanya.
Tidak berbeda dengan Darmono dan Juari, Sagiman, petani Desa Sumberkarya, Suku Tengah lakitan (STL) Ulu Terawas, juga mengalami hal serupa. Hujan deras yang mengguyur desanya awal April lalu, menyebabkan Sungai Air Deras meluap dan merendam puluhan hektar sawah di desanya.
Khusus di sawahnya, selama musim tanam kali ini Sugiman mengaku sudah tiga kali menanam. Akibatnya ia kehabisan bibit untuk ditanam. Yang ia rawat saat ini sisa tanaman padi korban banjir. “Kalau keadaan normal, kami bisa menghasilkan 90 karung per hektar,” ujar Sugiman. “Tapi kalau seperti ini, dapat lima karung sudah mujur.”
Keluhan senada juga dilontarkan Juni, warga Dusun I Desa Sumberkarya. Akibat sawahnya terendam air, ia mengalami kerugian Rp 2 juta. Sekarang ia mesti menanam ulang. Itu artinya ia harus menyiapkan dana lagi untuk upah bajak sebesar Rp 600 ribu, upah tanam Rp 25 ribu per hari selama 14 hari, ditambah biaya pupuk dan obat-obatan.
“Apa boleh buat, memang beginilah kenyataannya,” ungkap Juni, sambil mengumpulkan keong emas di sawahnya.
Tidak cukup dengan Darmono, Juari, Sugiman, dan Juni. Harto Suwito, petani Desa Q 2 Wonorejo, Tugumulyo, juga mengalami persoalan serupa. Menurutnya, sejak 8 tahun terakhir, air Sungai Ketuan sering meluap dan merendam ratusan hektar sawah di desanya. Seperti kejadian tahun 2008, banjir yang merendam sawahnya menyebabkan tanaman padi menjadi busuk, dan tidak ada yang dapat dipanen.
Menurut Harto, setiap habis mengalami banjir, petani dipastikan bakal merugi sekitar Rp 1,5 juta, meliputi sewa traktor Rp 500 ribu, ditambah pembelian bibit dan pupuk. “Kalau sudah begini (banjir), kami pasti mengalami gagal panen dan terpaksa membeli beras. Padahal kami ini petani sawah,” ungkap Harto Suwito. “Untung saja kami punya kesibukan lain yaitu menyadap karet, sehingga bisa untuk beli beras.”

Perlu dikeruk
Kejadian banjir dan serangan hama yang kerap menimpa petani di Musirawas, perlu mendapat perhatian serius pihak terkait. Bila tidak, bukan mustahil hal ini menyebabkan petani menjadi jera menanam padi dan berpikir untuk alih profesi. Bila demikian bisa saja terjadi Musirawas yang disebut-sebut sebagai daerah lumbung pangan Sumatera Selatan bakal tinggal cerita.
Menurut Kepala Desa Sumberkarya, Abdul Malik, saat air sungai meluap, yang terendam bukan hanya sawah, melainkan jalan poros di desanya juga ikut terendam. Bila sudah banjir, setidaknya butuh waktu seminggu bagi warga untuk bisa beraktivitas secara normal.
Diterangkan, banjir di desanya akibat pendangkalan Sungai Air Deras. Selain Desa Sumberkarya, luberan Sungai Air Deras juga sampai ke Desa Srimulyo dan Desa Sukakarya. “Kejadian ini sudah kami alami selama empat tahun ini,” kata Abdul Malik.
Mengantisipasi kejadian ini, di Bulan September 2008, Abdul Malik pernah mengajukan usulan pengerukan Sungai Air Deras ke Pemkab Musirawas. Namun walau sudah berupaya mengumpulkan tandatangan masyarakat korban banjir, sampai saat ini usulan Abdul Malik belum terealisasi. “Harapan saya pemerintah mau menguras lumpur yang ada di Sungai Air Deras dan mengganti pintu air yang sudah rusak,” ucapnya.
Sedangkan Kepala Desa Q2 Wonorejo, Sucipto, Senin (20/4) juga mengharapkan hal serupa. Menurutnya, untuk mengatasi masalah banjir, endapan lumpur di Sungai Ketuan perlu dikeruk. Sejak kerap dilanda banjir, Sucipto menerangkan warganya hanya dapat menanam satu kali dalam setahun. Padahal sebelumnya, per dua tahun bisa sampai lima kali tanam. (Imam Koesnadi/Metro Indonesia)